Dirgantara Online
Jumat, 24 Oktober 2025, Oktober 24, 2025 WIB
Last Updated 2025-10-26T06:45:11Z
HeadlineNasionalPolitikProjo

Menjelang Kongres III: Projo di Simpang Jalan, Antara Setia pada Jokowi atau Lahirkan Kekuatan Politik Baru

banner 717x904

Budi Arie Setiadi

D'On, Solo
- Organisasi relawan pendukung Presiden Joko Widodo, Pro Jokowi (Projo), tengah memasuki babak paling menentukan dalam sejarah perjalanannya. Menjelang Kongres ke-3 yang akan digelar pada 1–2 November 2025 di Jakarta, isu yang selama ini hanya menjadi bisik-bisik politik kini menggema semakin keras: apakah Projo akan bertransformasi menjadi partai politik?

Pertanyaan itu kini menggantung di udara, menanti jawaban yang hanya bisa diberikan oleh Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi dan para elite relawan yang sejak 2014 menjadi ujung tombak kemenangan Jokowi. Namun, Budi Arie memilih bermain di wilayah abu-abu.

“Oh, tunggu saja nanti, keputusan banyak orang,” ujarnya dengan senyum diplomatis usai bertemu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) di Solo, Jumat (24/10/2025).

Pernyataan singkat yang terdengar ringan itu justru menyulut spekulasi besar di kalangan elite politik. Apakah Budi Arie tengah menyiapkan “kelahiran baru” Projo sebagai partai politik ber-DNA Jokowi? Ataukah ini hanya manuver untuk memperkuat posisi tawar di tengah poros kekuasaan baru: pemerintahan Prabowo–Gibran?

Pertemuan di Solo: Lebih dari Sekadar Silaturahmi

Kedatangan Budi Arie bersama jajaran Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Projo) ke kediaman pribadi Jokowi di Solo disebut membawa agenda sederhana: menyerahkan undangan resmi agar Jokowi hadir dan membuka Kongres III Projo. Namun, bagi para pengamat, pertemuan itu jauh lebih strategis daripada sekadar seremoni.

Solo, kota kelahiran Jokowi, kembali menjadi poros politik nasional  tempat segala arah baru politik pasca-Jokowi kerap berawal. Dari kota inilah Jokowi naik menjadi wali kota, lalu gubernur, hingga akhirnya Presiden dua periode. Kini, dari Solo pula bisa jadi lahir keputusan besar: menjadikan Projo sebagai kekuatan politik baru.

“Pak Jokowi sebagai Ketua Dewan Pembina Projo kami minta untuk hadir dan membuka kongres,” kata Budi Arie usai pertemuan.

Namun di balik undangan itu, terselip pesan politik yang kuat dari Jokowi kepada para loyalisnya. Ia menegaskan agar Projo tetap mendukung pemerintahan Prabowo–Gibran secara penuh, melanjutkan kesinambungan program yang telah ia rintis selama sepuluh tahun.

“Arahannya jelas, kita mendukung pemerintahan ini. Karena pemerintahan Pak Prabowo dan Mas Gibran ini adalah mandat rakyat,” tegas Budi.

Dari Relawan Militan ke Partai Politik?

Sejak berdiri pada 2013 menjelang Pilpres 2014, Projo dikenal sebagai ormas relawan paling militan dan loyal kepada Jokowi. Mereka bekerja di akar rumput, mengorganisasi simpatisan di seluruh daerah, dan membentuk jaringan yang bahkan mampu menandingi mesin partai besar.

Projo bukan hanya relawan; mereka adalah gerakan sosial politik yang bertransformasi menjadi tulang punggung citra “Jokowi dari rakyat, untuk rakyat.” Kini, ketika Jokowi tak lagi berada di kursi kekuasaan, masa depan Projo berada di persimpangan paling tajam.

Apakah mereka akan tetap menjadi barisan relawan yang setia mengawal pemerintahan? Atau justru melangkah lebih jauh  mendirikan partai politik yang membawa ideologi Jokowisme ke gelanggang demokrasi formal?

Langkah seperti ini bukan tanpa contoh. Partai NasDem, misalnya, lahir dari ormas Nasional Demokrat yang awalnya sekadar gerakan moral. Bila Projo memilih jalur serupa, mereka berpotensi menjadi kendaraan politik baru pasca-Jokowi, yang mengusung gagasan populisme khas Jokowi  sederhana, membumi, dan berorientasi pada kerja nyata.

Bayangan Jokowi 2029 dan Konsolidasi Loyalis

Spekulasi makin panas setelah pertemuan di Solo. Banyak pengamat menilai, Jokowi sedang menyiapkan fondasi politik baru menjelang 2029. Gibran kini telah menjadi Wakil Presiden terpilih, sementara sejumlah loyalis Jokowi menempati posisi strategis di kabinet dan lembaga negara.

Dalam konteks ini, lahirnya partai baru dari rahim Projo bisa menjadi langkah strategis untuk mengonsolidasikan kekuatan pasca-era Jokowi di Istana. Sebuah partai baru yang tetap setia pada gagasan Jokowi, namun juga siap bermain dalam realitas politik baru di bawah Prabowo–Gibran.

Meski Budi Arie menegaskan keputusan akhir akan ditentukan dalam Kongres, sinyal-sinyal menuju arah itu semakin tak bisa ditepis.

“Sejak awal kami berkomitmen mendukung pasangan Prabowo–Gibran dan berperan aktif agar program pemerintah berjalan demi rakyat,” ujarnya.
“Apalagi program-program kerakyatan yang sudah dirintis Pak Presiden harus dilanjutkan dan diperkuat.”

Pernyataan itu seolah menjadi mantra kesetiaan sekaligus strategi transisi, menandai bahwa Projo siap berubah, tanpa meninggalkan akar Jokowinya.

Kongres III: Babak Baru, Peta Baru

Kongres III Projo pada awal November di Jakarta diprediksi bakal menjadi momentum paling bersejarah sejak organisasi ini berdiri. Bukan sekadar forum evaluasi, melainkan arena penentuan arah baru: apakah tetap menjadi ormas relawan atau resmi menapaki jalur politik formal.

Jika keputusan mendirikan partai benar diambil, Projo akan tercatat sebagai ormas relawan pertama di era Jokowi yang berhasil bermetamorfosis menjadi partai politik setelah masa kekuasaan sang patron berakhir.

Konsekuensinya, peta politik menuju Pemilu 2029 akan terguncang. Projo berpotensi menjadi magnet baru bagi jutaan loyalis Jokowi yang kini mencari wadah politik pasca era kepemimpinan sang mantan presiden.

Namun hingga Kongres digelar, Budi Arie memilih tetap menutup rapat semua kemungkinan. Dengan senyum khasnya, ia hanya meninggalkan satu kalimat yang kini menjadi teka-teki politik nasional:

“Tunggu saja nanti. Keputusan banyak orang.”

Catatan Akhir: Jokowisme dan Masa Depan Politik Indonesia

Apapun hasilnya nanti, Kongres III Projo akan menjadi barometer penting tentang sejauh mana warisan politik Jokowi akan terus hidup di bawah pemerintahan baru. Bila Projo benar menjadi partai, maka untuk pertama kalinya gagasan “politik kerja” Jokowi akan punya wadah resmi di panggung kekuasaan.

Dan di tengah dinamika menjelang Pemilu 2029, langkah itu bukan hanya soal strategi politik, melainkan juga soal arah sejarah apakah Jokowisme akan memudar bersama berakhirnya masa jabatan, atau justru menjelma menjadi gerakan politik yang bertahan lintas generasi.

(AK)

#Projo #Politik #Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar